Menggunakan Logam Uang untuk Berurusan dengan Hewan

Pajak menjadi sumber pendapatan negara pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Para penguasa pada saat itu menarik berbagai macam pajak dari rakyat dan juga dari orang asing yang tinggal dan berbisnis di negara tersebut. Pembayaran pajak dilakukan dengan beragam cara, mulai dari uang hingga memberikan sesembahan berupa hewan.

Pajak dikenakan di tingkat desa sebagai daerah terendah di Kerajaan Mataram Kuno, serta di kota-kota dan bandar dagang yang ditarik kepada pedagang dan pelaku usaha. Petugas pajak desa disebut sebagai “watak” yang membawahi beberapa desa. Para penguasa daerah, yakni rakai dan pamgat atau para sāmya haji, mempersembahkan pajak kepada raja setiap habis panen, yaitu dua kali setahun, pada bulan Asuji dan Kartika.

Para pejabat tingkat watak yang bertugas memungut pajak disebut pangurang, dan ada pula istilah pratyaya untuk menyebut pejabat pemungut pajak. Di pusat kerajaan, semua pemasukan pajak diurus oleh pangkur, tawan, dan tirip. Di tingkat pusat itu juga terdapat petugas khusus yang mencatat luas berbagai jenis tanah di seluruh kerajaan dan ketetapan pajaknya.

Oleh karena itu, sering kali terdapat keterangan dalam prasasti bahwa suatu daerah atau sebidang tanah di suatu daerah ditetapkan memiliki penghasilan pajak (pangguhan) dalam bentuk mata uang emas atau perak.

Source link