Petuah Kiai Mojo kepada Pangeran Diponegoro: Perang di Jawa Semakin Membara

Kiai Mojo, yang nama aslinya Muslim Muhamad Halifah, adalah salah satu tokoh penting dalam Perang Jawa atau yang lebih dikenal sebagai Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830. Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro memiliki hubungan yang erat layaknya antara guru dan santri. Kiai Mojo konon memiliki peran penting dalam mendidik Pangeran Diponegoro dan keluarganya.

Tidak hanya Pangeran Diponegoro yang dekat dengan Kiai Mojo, tetapi juga putra sulung Pangeran Diponegoro, yaitu Pangeran Diponegoro II, yang kemudian mengambil nama santri Raden Mantri Muhammad Ngarib. Setelah melakukan perjalanan panjang, ia memutuskan untuk belajar dari seorang guru di Surakarta, yaitu Kiai Mojo.

Menurut Peter Carey dalam bukunya “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro: 1785 – 1855”, posisi Kiai Mojo menjadi semakin penting di antara para santri pendukung Diponegoro. Hal ini turut memperburuk ketegangan antara para pengikut bangsawan dan santri Sang Pangeran.

Pada awal 1800-an, hubungan pribadi Pangeran Diponegoro masih terbatas pada wilayah sekitar Yogyakarta. Semuanya tetap seperti itu hingga masa jabatan Residen Belanda H.G. Nahuys Van Burgst. Konon, pada masa residen tersebutlah Pangeran Diponegoro pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar wilayah Yogyakarta.

Sang pangeran berjalan kaki sekitar 40 kilometer melalui jalan-jalan belakang pedesaan ke Desa Mojo untuk mencari putra sulungnya yang menjadi murid dari Kiai Mojo. Setelah itu, Kiai Mojo mengunjungi Diponegoro di Tegalrejo tanpa pemberitahuan.

Hubungan antara Diponegoro dan Kiai Mojo akan menjadi sangat berarti bagi keduanya, serta selama Perang Jawa akan menjadi semacam kutukan dan inspirasi bagi Diponegoro dan penasihat agamanya.

Source link